Nglondong, [10 Juli 2025] – Di tengah modernisasi dan perkembangan zaman, tradisi puputan atau njenengi (pemberian nama) bagi bayi yang baru lahir masih lestari di berbagai daerah di Jawa, termasuk di Desa Nglondong Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung. Tradisi ini bukan sekadar seremoni pemberian identitas, melainkan sebuah ritual yang kaya makna, melibatkan keluarga dan masyarakat dalam mendoakan kebaikan bagi sang buah hati.
Puputan berasal dari kata "puput" yang dalam bahasa Jawa berarti putus atau selesai. Istilah ini mengacu pada putusnya tali pusar bayi dari plasenta. Upacara puputan biasanya diselenggarakan beberapa hari setelah kelahiran, umumnya pada hari ke-7, ke-35 (selapanan), atau bahkan lebih lama, tergantung pada keyakinan dan kemampuan keluarga.
Makna Mendalam di Balik Pemberian Nama
Inti dari tradisi puputan adalah njenengi, atau pemberian nama kepada bayi. Prosesi ini tidak sembarangan. Nama yang diberikan seringkali mengandung harapan dan doa orang tua agar sang anak tumbuh menjadi pribadi yang baik, berakhlak mulia, serta sukses di masa depan. Pemilihan nama bisa berdasarkan hari lahir, weton (perhitungan hari dalam kalender Jawa), atau bahkan peristiwa penting yang terjadi di sekitar kelahiran bayi.
"Nama adalah doa. Dalam puputan, kami tidak hanya memberikan nama, tapi juga melimpahkan harapan dan doa terbaik untuk masa depan anak kami," ujar Ibu Devi, salah satu warga Dusun Gunung Kekep Desa Nglpndong yang baru saja melangsungkan upacara puputan untuk putri keduanya.
Rangkaian Acara Penuh Filosofi
Upacara puputan umumnya diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh atau tokoh agama. Kemudian, bayi akan digendong oleh ayah, paman atau kakeknya, dan nama resmi bayi akan diumumkan kepada seluruh hadirin. Tak jarang, disiapkan juga beragam hidangan tradisional seperti tumpeng, jenang procot, dan polo pendem yang memiliki makna simbolis tersendiri, melambangkan kesuburan, keselamatan, dan harapan akan kehidupan yang berkah.
Puncak acara seringkali ditandai dengan pemotongan rambut bayi atau "cukur rambut" sebagai simbol pembersihan diri dan awal kehidupan yang baru. Para tamu yang hadir pun biasanya akan memberikan doa restu bagi sang bayi.
Melestarikan Warisan Leluhur
Di era digital ini, tradisi puputan tetap relevan sebagai sarana mempererat tali silaturahmi antar keluarga dan tetangga. Lebih dari itu, tradisi ini menjadi pengingat akan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang perlu terus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.
"Penting bagi kami untuk terus melestarikan tradisi ini. Ini bukan hanya tentang ritual, tapi juga tentang identitas, nilai-nilai, dan doa-doa baik dari leluhur yang terus hidup dalam keluarga kami," pungkas Bapak Haryo, seorang Ketua RT yang juga aktif mengkaji tradisi lokal.
Dengan terus dilaksanakannya tradisi puputan, nilai-nilai luhur budaya Jawa terus dipegang teguh, memastikan bahwa setiap nama yang diberikan kepada seorang anak membawa serta harapan, doa, dan warisan kearifan lokal yang tak ternilai harganya.
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook